Terkait dengan keterlambatan angkutan udara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (“UU Penerbangan”) menjelaskan definisi keterlambatan sebagai:[1]
“Terjadinya perbedaan waktu antara waktu keberangkatan atau kedatangan yang dijadwalkan dengan realisasi waktu keberangkatan atau kedatangan.”
Jenis-jenis keterlambatan kemudian diperjelas dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 89 Tahun 2015 Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia(“Permenhub 89/2015”). Menurut Pasal 2 Permenhub 89/2015, keterlambatan penerbangan pada badan usaha angkutan udara niaga berjadwal terdiri dari:
a. keterlambatan penerbangan (flight delayed);
b. tidak terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat udara (denied boarding passenger); dan
c. pembatalan penerbangan (cancelation of flight).
Dalam hal terjadi keterlambatan penerbangan (flight delayed) Badan Usaha Angkutan Udara wajib memberikan kompensasi dan ganti rugi kepada penumpangnya.
Keterlambatan penerbangan dikelompokkan menjadi 6 (enam) kategori keterlambatan, yaitu:[2]
1. Kategori 1, keterlambatan 30 menit s/d 60 menit;
2. Kategori 2, keterlambatan 61 menit s/d 120 menit;
3. Kategori 3, keterlambatan 121 menit s/d 180 menit;
4. Kategori 4, keterlambatan 181 menit s/d 240 menit;
5. Kategori 5, keterlambatan lebih dari 240 menit; dan
6. Kategori 6, pembatalan penerbangan.
Kompensasi yang wajib diberikan Badan Usaha Angkutan Udara akibat keterlambatan penerbangan itu berupa:[3]
a. keterlambatan kategori 1, kompensasi berupa minuman ringan;
b. keterlambatan kategori 2, kompensasi berupa minuman dan makanan ringan (snack box);
c. keterlambatan kategori 3, kompensasi berupa minuman dan makanan berat (heavy meal);
d. keterlambatan kategori 4, kompensasi berupa minuman, makanan ringan (snack box),dan makanan berat (heavy meal);
e. keterlambatan kategori 5, kompensasi berupa ganti rugi sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah);
f. keterlambatan kategori 6, badan usaha angkutan udara wajib mengalihkan ke penerbangan berikutnya atau mengembalikan seluruh biaya tiket (refund ticket); dan
g. keterlambatan pada kategori 2 sampai dengan 5, penumpang dapat dialihkan ke penerbangan berikutnya atau mengembalikan seluruh biaya tiket (refund ticket).
Jadi, memang dalam beberapa kondisi sebagaimana tersebut di atas, penumpang berhak dipindahkan ke penerbangan lain (mendapat tiket penerbangan lain), selain mendapatkan makanan dan minuman. Atau ada juga penumpang yang hanya mendapatkan kompensasi berupa makanan minuman, tergantung kondisi.
Ganti rugi untuk keterlambatan kategori 5 yakni kompensasi berupa ganti rugi sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) wajib diasuransikan kepada perusahaan asuransi sesuai ketentuan yang berlaku. Perusahaan asuransi wajib membuat mekanisme pembayaran ganti rugi dengan persyaratan mudah dan sederhana. Pemberian ganti rugi dapat diberikan dalam bentuk uang tunai atau voucher yang dapat diuangkan atau melalui transfer rekening, selambat-lambatnya 3 x 24 jam sejak keterlambatan dan pembatalan penerbangan terjadi.[4]
Meskipun demikian, Badan Usaha Angkutan Udara dibebaskan dari tanggung jawab atas ganti kerugian akibat keterlambatan penerbangan karena faktor teknis operasional (faktor yang disebabkan oleh kondisi bandar udara pada saat keberangkatan atau kedatangan), faktor cuaca, dan faktor lain-lain yang disebabkan di luar faktor manajemen airlines, teknis operasional dan cuaca, antara lain kerusuhan dan/atau demonstrasi di wilayah bandar udara.[5]
Lebih jelasnya mengenai faktor teknis operasional, faktor cuaca, dan faktor lain-lain dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:[6]
Keterangan
|
Faktor Teknis Operasional
|
Faktor Cuaca
|
Faktor Lain-Lain
|
Definisi
|
Faktor yang disebabkan oleh kondisi bandar udara pada saat
keberangkatan atau kedatangan
|
-
|
Faktor yang disebabkan di luar faktor manajemen airlines,
teknis operasional dan cuaca, antara lain kerusuhan dan/atau demonstrasi di
wilayah bandar udara
|
Jenis-Jenis
|
- Bandar udara untuk keberangkatan
dan tujuan tidak dapat digunakan operasional pesawat udara
- Lingkungan menuju badar udara atau
landasan terganggu fungsinya misalnya retak, banjir, atau kebakaran
- Terjadinya antrian pesawat udara
lepas landas (take off), mendarat (landing), atau lokasi waktu
keberangkatan (departure slot time) di bandar udara; atau
- Keterlambatan pengisian bahan bakar
(refuelling)
|
- Hujan lebat
- Banjir
- Petir
- Badai
- Kabut
- Asap
- Jarak pandang di
bawah standar minimal; atau
- Kecepatan angin
yang melampaui standar maksimal yang mengganggu keselamatan penerbangan
|
-
|
Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan;
2. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 89 Tahun 2015 Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia.
sumber : hukum online